Sabtu, 22 Desember 2018

Topeng

Suatu ketika teman saya datang tergopoh-gopoh, mulutnya penuh dengan omelan-omelan yang memuntahkan banyak sumpah serapah. Hujan kala itu membuat saya malas untuk banyak berkomentar, saya lirik sekilas lalu lanjut memperhatikan hujan disamping jendela.
“Lo yaa...kok sama-sama ngeselinnya sih.” Saya lantas meninggalkan dia menuju dapur, berjalan  tanpa menengok sama sekali. Saya malas menggubris, dia pun tahu tabiat saya. Setelah beberapa menit, saya menghampiri dia sambil membawa dua cangkir teh panas.
Tanggannya menyambut, lalu mengucapkan terimakasih tanpa mengalihkan pandangan.
Kemudian dia datang lagi tadi malam, matanya berbinar, mengatakan kebahagiannya terhadap sesuatu...atau seseorang? Saya lupa. "Tar...dia baik banget tau. Nggak salah banyak yang suka sama dia”, deskripsinya terhadap hal yang sama.

***
Seperti apa sih kamu memandang orang di sekitar kamu? Kamu memandang orang terdekat kamu? Kenapa kamu bisa mengatakan dia “baik” atau dia “jutek” pada first impression kalian betemu? Kenapa untuk orang yang sama kita jumpai, respon kita bisa berbeda? Kenapa menurutmu dia “begini” sedang menurutku dia “begitu”?

Pernah pada suatu percakapan, teman saya mengatakan “Gue ketemu dia di seminar, terus dia cuma respect sama almamater dia doang, sombong”. Pada saat yang bersamaan, saya yang tidak tahu apa-apa ini iya-iya saja, tanpa ada dalam situasi dan kondisi yang sama atau tanpa mengcroscek kebenarannya. Hingga pada suatu hari saya membaca sebuah cerita fans dari si artis yang bercerita tentang keramahannya si artis.

Lucu nggak sih, manusia itu satu kesatuan yang utuh. Tapi manusia lain menilai sesama manusia seperti seolah-olah dia adalah dua manusia yang berbeda....ini manusia nya yang berubah atau kita yang salah menilai?

***

Masih banyak kasus lainnya yang sebenarnya saya malas ketik dikarenakan keyboard notebook yang kurang nyaman. Intinya sama. Pertanyaanya adalah lalu semua ini sebenarnya, apa? Bagaimana? Kenapa?

Pada kenyataanya, sadar tidak sadar kita juga sering mengatakan “Ternyata dia baik” atau “Baik sih aslinya” dan kalimat-kalimat lain yang intinya sama.

Lalu, yang kemarin itu apa? Menurut saya yang awam ini, jika diibaratkan manusia itu memiliki beberapa lapis topeng. Bukan tentang mana dia yang sebenarnya tapi… dalam rupa apa kau menjumpainya, dalam rupa mana kau dijumpainya.

Jadi gini contohnya, saya adalah seorang manusia biasa yang tak ubahnya memiliki mood yang bisa berubah-ubah atau saya adalah seorang perempuan muda yang belum cukup fasih bagaimana menepatkan dirinya dihadapan dunia, lingkup kecilnya adalah dihadapan society dimana kita berada. Saya rasa hal ini juga berlaku untuk yang lainnya  (saya tidak bilang semua).

Pada saat saya sedang tidak ingin diajak bicara karena nilai ujian saya dibawah rata-rata, saya bertemu dengan kamu atau kalian. Sekalipun kamu berbicara penuh antusias tentang suatu hal, saya bisa jadi membalas seperlunya. Maka terjadilah, dia sombong.
Saya kesal pada hal-hal kecil yang sebenarnya tidak perlu saya permasalahkan hanya karena saya sedang on period kemudian apa yang saya lakukan bisa menyakiti lingkungan saya. Maka terjadilah, dia jutek.
Lain halnya ketika saya sedang baik-baik saja dan memungkinkan untuk menjawab pertanyaaan, memungkinkan untuk menyapa, atau memungkinkan-memungkinkan lainnya.

Kenapa hal ini terlihat seperti sulit? Karena kenyataanya, kadang kita bertemu pada waktu dan saat yang tidak tepat seperti di persimpangan jalan, disaat terburu-buru menunggu kereta, dan macam-macam lainnya yang kurang sesuai. Hal ini tentu saja berlaku sebaliknya, ketika saya berada di posisi kamu.

Hingga pada situasi dan kondisi yang mendukung selanjutnya, ketika akhirnya kita bisa bertegur sapa, saling melempar senyum, lebih jauh lagi kita bisa berbincang tentang banyak hal, memahami sisi lain masing-masingnya. Maka terjadilah, dia aslinya baik juga (hal ini bisa berlaku sebaliknya).
Sampai sejauh ini, sejauh mana pesan saya tersampaikan? Sejauh mana “kita” (ya, termasuk saya) memahami maksud dan arah pembincangan ini? Masih samar, kah?

***

Semasa kuliah tingkat dua, dosen saya mengatakan bahwa personality seseorang yang kemudian kita sebut sebagai kepribadian berasal dari kata “persona” yaitu topeng. Ya, manusia dengan topengnnya. Tapi hal ini jangan membuatmu beranggapan bahwa berapa banyak topeng yang digunakan atau dipakai seolah-olah mengatakan bahwa manusia memiliki banyak kepribadian.

Tidak, jangan.

Lebih lanjut lagi, kita harus tahu bahwa kepribadian adalah konsep keseluruhan/kesatuan traits  dan karakter manusia, sedangkan topeng yang saya bahas diatas keadaan emosional yang sedang dirasakan individu yang mempengaruhi pandangan awal kita terhadap sesuatu.

***
Jadi,
Topeng, dalam rupa apa kau menjumpainya, dalam rupa mana kau dijumpainya.

---
Tulisan ini dibuat bulan November 2016. Diselesaikan September 2017.
Dipost Desember 2018.

Sangat panjang memang untuk saya yang pemalu dan terlalu cupu ini.

Share:

Kemana?

"Kamu tidak perlu kemana-mana, karena sebenarnya yang kamu hindari ada dalam pikiranmu" Siti (dalam imajinasi,2016)

--
Tulisan lama, tak sengaja berjumpa lagi.
Ternyata kasusnya masih sama, semoga selalu menjadi pengingat. Selamat bermain-bermain.. dengan pikiranmu!

Share:

Senin, 08 Oktober 2018

Pertanyaan Yang Sudah Menemukan Jawaban

Kalau kamu pikir kamu cantik, aku dengan berat hati mengatakan iya. Harus mengakuinya.

Malas sebenarnya. Setelah ini kamu akan mengolok-ngolok dan menjadikan kata itu sebagai pujian, padahal itu hanya jawaban.

Acap kali kamu sering bertanya hal-hal yang aku tidak suka, tapi dengan senang hati aku mau mendengarnya. Meski enggan menjawab, aku akan selalu melakukannya.

Pertanyaan semacam,
" Aku cantik ngga?"
" Kamu sayang sama aku nggak?"

Ingin aku berteriak padamu, apakah hal-hal seperti itu masih harus dipertanyakan?

Tentu saja, meski begitu aku tidak akan menjawabnya. Kemudian kamu akan merengek, seringnya bertanya hal lain yang arah dan tujuannya akan tetap sama. Tapi, aku akan tetap dan tentu dengan senang hati mengikuti arusnya.

Kadang-kadang, bukan hanya pertanyaan yang tidak perlu jawaban. Ada beberapa hal seperti pernyataan yang tak perlu kau utarakan, aku pasti merasakan.

" Nanti kalo aku ngga ada, kamu kangen loh"

Semacam itu.

---
Untuk seseorang yang isi kepalanya sedang aku terka, dalam rangka menyambut hari-hari perpisahan.

Berpisahnya belum, sedihnya sudah terasa.

---

Jakarta, 08 Oktober 2018
01 : 16 WIB
(Jangan terlalu serius, tulisanku tidak benar-benar nyata)

Share:

Selasa, 19 Juni 2018

Abstaraksi : Dia 2

Dia rindu.
Rindu sesuatu.

Benar kata orang, rindu memang selalu tentang jarak. Tapi baginya, rindu terberat bukanlah tentang kilometer, tapi tentang sesuatu yang jauh.

Dimensi, yang sudah terlewat.

Masa lalu.

--
Bukan, bukan tentang ada apa atau siapa disana.
Bukan tentang waktu.
Tapi tentang esensi didalamnya.
Ada sesuatu yang dia rasakan.

Kedamaian.

--

Dia tidak rindu masa lalu, dia hanya rindu "kedamaian" pada masa lalu. Sesuatu yang sebenernya bisa dia dapatkan juga, tak hanya di masa lalu. Di masa ini.

Share:

Sabtu, 16 Juni 2018

Abstraksi : Dia 1

Dia meringis.
Pilu sekaligus muak.

Earphone dan musik yang didengarkan membuatnya hanyut dalam lirik dan nada. Riuh hanya ada antara kepala dan telinga.

Asik, hanyut dalam alunan.
Meng"amini" kata kata yang terdengar sembari meresapi makna yang tumpang tindih dengan kenangan dan juga harapan.

Dia mulai sibuk, dengan pikirannya sekaligus lamunannya.
Jangan, ada yang ganggu! Pikirannya melayang, mengambang, bercabang, buntu, hilang dan hinggap tak karuan.

Manusia manusia terlihat bisu.
Membual tanpa suara.
Kosong.
Sunyi.

Dia menikmati keriuhan yang dia nikmati seorang diri.

Keheningan penuh kebohongan yang dunia tawarkan begitu manipulatif. Sekali di nikmati, banyak mulut-mulut berbusa berbicara tak berfakta.

--
Dia sedang "berusaha" pulang ke dalam pelukannya sendiri.

Share:

Rabu, 13 Juni 2018

Lawan Bicara


---

Lawan bicaranya terus berbicara, apa saja yang ingin dia katakan. Dia utarakan. Sembari memilih makanan yang ia tak suka untuk di taruh di pinggiran piring, menunduk dalam lalu menyuapkan nasi ke mulutnya dengan malas. Kekenyangan.

Lawan bicaranya sesekali berhenti mengunyah, melihat ke sudut yang berbeda. Tidak benar-benar melihat, tidak benar-benar memperhatikan sesuatu. Dia memang suka begitu.

Lawan bicaranya menghela napas, berujar tentang makanan yang tak kunjung habis. Dan seseorang mulai menawarkan diri untuk menghabiskan. Selalu begitu.

Lawan bicaranya melarang. Kemudian melanjutkan dengan pelan. Sesekali lawan bicaranya bertanya tentang keseharian dan kesibukan ibu kota. Lalu, mengeluh karena kemacetannya.

Lawan bicaranya memang pandai berbicara. Dia menyadari ada seseorang yang diam-diam memandang kearahnya setiap kali ia sibuk dengan makanan dihadapannya.

---
Perbincangan dengan lawan bicara selalu menarik, setidaknya yang kurang menarik pun akan jadi sesuatu yang mau seseorang tunggu. Tapi, pujangga manapun harusnya paham yang tak saling dibicarakan, yang lawan bicara tak utarakan dan yang seseorang tak ungkapkan jauh lebih memiliki makna dengan kata yang tak mampu dibahasakan. Setidaknya sampai tulisan ini diakhiri.

--
Kuningan, 13 Juni 2018
11.48 WIB
aku, kursi panjang di ruang tengah, dan pikiranku.


Share:

Sabtu, 09 Juni 2018

Keputusan Mencintai


Keputusan mencintai akan lebih mudah dilakukan jika tanpa keinginan untuk memiliki.

Ada salah satu quote yang menurut gue, cocok menganalogikan maksud gue.
" Aku mencintaimu, itu urusanku. Kamu terhadapku, itu urusanmu"

Susah emang, kita nggak pernah bisa nipu diri kita sendiri tentang rasa kecewa, sedih, marah atau lainnya ketika kita melihat orang yang kita sayang menyatakan rasa sayangnya kepada orang lain, sedih memang ketika kita hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh sambil bergandengan dengan pujaannya yang sekarang.
Tapi justru memang disitu seni nya, justru disana kekuatannya. Mereka yang mencintai diam-diam, diam-diam mendo'akan, diam-diam sibuk berharap 'dia' jangan bersedih. Tapi yaudah, cukup. Nggak nuntut banyak. Apa yang harus dipersatukan pasti bersatu kok :)
Ikhlaskan semuanya.

Sampai sini, ngerti nggak maksudnya konsep "keputusan untuk mencintai?".
Seseorang pernah bilang ke gue "pada dasarnya, sayang nggak perlu status".

Yang bikin ribet adalah ketika lu memkasakan diri untuk...memiliki. Kadang-kadang gue suka mikir, sampai sejauh ini. Perasaan itu apa benar-benar rasa sayang itu sendiri, bukan obsesi?
Ya bukan berarti kalo lu suka orang, lu harus terus-terusan diem. Maksud gue...nggak memaksakan harus bin kudu memiliki si doi, yang ujung-ujungnya malah nyakitin diri sendiri. Nah ini yang banyak kejadiannya, buanyaaak.
Kasus diatas untuk mereka yang berteman dengan diam.

Lain hal sama mereka yang memang tidak dipilih.
Ya kalo dia nggak milih lo, dia berarti bukan yang terbaik buat lo. it's simple. Pasti ada yang bakal cocok dan pas, buat lo. Yang mau nerima lo dengan segala kejelekan dan kecantikan lo. Itu bisa jadi dia (lagi) di masa yang akan datang, ketika semuanya sudah jauh lebih siap. Ketika semuanya lebih tepat.
Seseorang yang tepat akan datang di waktu yang tepat. Nah, versi tepat lo sama Tuhan kan beda. Itu!
Sambil nunggu semuanya tepat, apa lu mau jadi yang gini-gini aja? Nah. Tetep positif, tetep bahagia, dan terus melangkah maju menjadi lebih baik.

Toh, pada akhirnya semuanya nggak ada yang sia-sia. Ibarat jalan, mereka adalah yang udah lu lalui. Semuanya ngasih pembelajaran, dan juga mendewasakan tentunya.

Cinta harus membuat lu kuat, bukan melemahkanlu. Terserah siapa yang lu suka, tapi kebahagiaan lu ada di tangan lu. Keputusan untuk bahagia adalah pilihan lu.

Suatu hari, si kumbang tahu si mawar udah dihinggapi kupu-kupu. Si kumbang sedih, mawar pujaannya kini sudah memiliki penjaganya. Namun suatu hari, si kumbag berkelana kesana kemari, dan tak sengaja si kumbang bertemu si mawar. Si kumbang bahagia. Meski si kumbang tau si mawar di dampingi si kupu-kupu. Tapi, rasa bahagianya tetep bertahta. Bertemu dengan pujaan hatinya. Iya, ini adalah perasaan si kumbang, terlepas apa yang dirasakan si mawar, terlepas bersama siapa si mawar.

Sepi itu indah, percayalah...
Membisu itu, anugerah....
(penggalan lirik Banda Neira)

---
Tulisan tahun 2016, disalah satu platform yang sengaja ku copy kesini. Bukan karena apa-apa, hanya ingin saja.
Cheers!

Share:

Rabu, 04 April 2018

Tentang Puisi: Sukmawati, Kendaraan & Supir

Hari ini, tanggal 04 bulan 04 tahun 2018. Cuaca diluar panas sekali, padahal tadi shubuh hujan deras. Gue memutuskan kembali nulis, karena rasanya memang harus ada yang disampaikan. Setelah memutuskan untuk fokus di tumblr yang eh...malah di blokir Depkominfo. Jadi, gue putuskan untuk kembali nulis di blog ini.

Oke udah prolog nya. Jadi gini, beberapa hari kebelakangan lapak media sedang booming membicarakan puisi. 

Jadi, beberapa hari yang lalu ada acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018. Disinilah awal mula per-puisian ini muncul, beliau adalah Ibu Sukmawati Soekarno Putri yang membacakan puisi karyanya sendiri dengan judul "Ibu Indonesia". Berikut puisinya yang gue kutip dari detiknews:

Ibu Indonesia

Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut

Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat 
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi

Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya. 

***

Nah, puisi diataslah yang kemudian booming dan menjadi pembicaraan di media sosial. Banyak yang mengklaim bahwa beliau itu menistakan agama. Sebelum tulisan ini gue buat, gue sempet baca-baca artikel terkait. Saat ini, Ibu Sukmawati sudah dilaporkan oleh beberapa orang ke kantor polisi. Presidium alumni 212 pun merencanakan untuk melaporkan Ibu Sukmawati, Baca disini. Kalo kalian pengin tau klarifikasi Ibu Sukmawati, kalian bisa baca disini.

Disini gue bukan mau ngebahas tentang Ibu Sukmawati, sih. Asal muasal tulisan ini gue buat berdasarkan gerah nya gue ngeliat media sosial yang berubah jadi lahan penghakiman dan media saling menjatuhkan. Nggak ada yang salah sama media sosial, dia hanya kendaraan. Tapi, bisa sukses menjadi kendaraan yang menggiring opini masyarakat jika dikendarai oleh orang yang tidak layak, ya...kalian lah supirnya. Netizen. 

Following gue berubah menjadi menjadi para pujangga yang tiba-tiba puitis, membuat balasan puisi atau mereka sudah berubah menjadi para ahli agama? Hm, entahlah. 

Terlepas dari salah atau benar Ibu Sukmawati, gue kurang suka sama orang-orang yang tiba-tiba "berubah" seperti yang gue gambarkan di paragraf atas. Gue tidak membenarkan Ibu Sukmawati, tapi gue juga tidak menyalahkan mereka yang membela agamanya. Wah, membela keyakinan mu itu malah bagus! 

Yang gue sesalkan adalah, mereka yang tiba-tiba "berubah" menjadi sangat agamis dan seolah-olah sangat paham, ahli bahkan suci sehingga bisa menghardik balik. Diajak shalat, bilang nanti. Pas booming berita ini, buat instatory  seperti seolah-olah dia disakiti karena agamanya "dikecilkan". Padahal, tanpa sadar diapun "mengecilkan" agamanya dengan tidak melaksanakan syariatnya. See ?

Menurut gue, seharusnya lu liat ke dalam diri lu sendiri dan bertanya jauh ke dalam hati lu, sudah sejauh mana lu mengenal agama lu? kalau sudah, sudah sejauh apa dan sebanyak apa? 

Lu tau, hukum menggunakan cadar itu bagaimana di agama lu?
Lu udah tau, cara membaca al-qur'an yang baik itu seperti apa? Mad Thabi'i itu apa?

Kalo lu udah tau, alhamdulillah. Kalo lu belum tau, ayo sama-sama belajar. Biar story lu di instagram memang karena lu paham, bukan tong kosong nyaring bunyinya sehingga tidak terkesan pencitraan.

The last, intinya sih gue cuma pengen bilang...daripada menghardik dan balas-balasan puisi mending bercermin dan tanya sama diri lu sendiri, seberapa paham lu tentang agama lu. Biar lebih yahud aja gitu :)

***
Lewat  tulisan gue yang masih longkap-longkap ini, semoga pesan yang ingin gue sampaikan, sampai ya. Ini opini gue aja, kalau nggak setuju nggak apa-apa. Kan semua orang punya sudut pandang nya masing-masing dalam melihat suatu perkara hehe :) Indonesia itu lagi krisis banget sama hal-hal yang berbau SARA, isu sensitif kaya gini bisa jadi sasaran empuk untuk memecah belah apalagi udah mau Pilkada. Semoga kita bisa lebih kalem, tidak cepat terbawa arus, tidak mudah terprovokasi dan tentu...lebih baik lagi. See you.

 (suatu hari nanti, ketika zaman nya sudah berganti. Kita akan tertawa mendengar instastory dan instagram, di zaman ini yang sangat happening. Di zaman nanti, mungkin sangat kuno dan ketinggalan zaman)
Share: