Suatu ketika teman saya datang tergopoh-gopoh, mulutnya penuh dengan omelan-omelan yang memuntahkan banyak sumpah serapah. Hujan kala itu membuat saya malas untuk banyak berkomentar, saya lirik sekilas lalu lanjut memperhatikan hujan disamping jendela.
“Lo yaa...kok sama-sama ngeselinnya sih.” Saya lantas meninggalkan dia menuju dapur, berjalan tanpa menengok sama sekali. Saya malas menggubris, dia pun tahu tabiat saya. Setelah beberapa menit, saya menghampiri dia sambil membawa dua cangkir teh panas.
Tanggannya menyambut, lalu mengucapkan terimakasih tanpa mengalihkan pandangan.
Kemudian dia datang lagi tadi malam, matanya berbinar, mengatakan kebahagiannya terhadap sesuatu...atau seseorang? Saya lupa. "Tar...dia baik banget tau. Nggak salah banyak yang suka sama dia”, deskripsinya terhadap hal yang sama.
***
Seperti apa sih kamu memandang orang di sekitar kamu? Kamu memandang orang terdekat kamu? Kenapa kamu bisa mengatakan dia “baik” atau dia “jutek” pada first impression kalian betemu? Kenapa untuk orang yang sama kita jumpai, respon kita bisa berbeda? Kenapa menurutmu dia “begini” sedang menurutku dia “begitu”?
Pernah pada suatu percakapan, teman saya mengatakan “Gue ketemu dia di seminar, terus dia cuma respect sama almamater dia doang, sombong”. Pada saat yang bersamaan, saya yang tidak tahu apa-apa ini iya-iya saja, tanpa ada dalam situasi dan kondisi yang sama atau tanpa mengcroscek kebenarannya. Hingga pada suatu hari saya membaca sebuah cerita fans dari si artis yang bercerita tentang keramahannya si artis.
Lucu nggak sih, manusia itu satu kesatuan yang utuh. Tapi manusia lain menilai sesama manusia seperti seolah-olah dia adalah dua manusia yang berbeda....ini manusia nya yang berubah atau kita yang salah menilai?
***
Masih banyak kasus lainnya yang sebenarnya saya malas ketik dikarenakan keyboard notebook yang kurang nyaman. Intinya sama. Pertanyaanya adalah lalu semua ini sebenarnya, apa? Bagaimana? Kenapa?
Pada kenyataanya, sadar tidak sadar kita juga sering mengatakan “Ternyata dia baik” atau “Baik sih aslinya” dan kalimat-kalimat lain yang intinya sama.
Lalu, yang kemarin itu apa? Menurut saya yang awam ini, jika diibaratkan manusia itu memiliki beberapa lapis topeng. Bukan tentang mana dia yang sebenarnya tapi… dalam rupa apa kau menjumpainya, dalam rupa mana kau dijumpainya.
Jadi gini contohnya, saya adalah seorang manusia biasa yang tak ubahnya memiliki mood yang bisa berubah-ubah atau saya adalah seorang perempuan muda yang belum cukup fasih bagaimana menepatkan dirinya dihadapan dunia, lingkup kecilnya adalah dihadapan society dimana kita berada. Saya rasa hal ini juga berlaku untuk yang lainnya (saya tidak bilang semua).
Pada saat saya sedang tidak ingin diajak bicara karena nilai ujian saya dibawah rata-rata, saya bertemu dengan kamu atau kalian. Sekalipun kamu berbicara penuh antusias tentang suatu hal, saya bisa jadi membalas seperlunya. Maka terjadilah, dia sombong.
Saya kesal pada hal-hal kecil yang sebenarnya tidak perlu saya permasalahkan hanya karena saya sedang on period kemudian apa yang saya lakukan bisa menyakiti lingkungan saya. Maka terjadilah, dia jutek.
Lain halnya ketika saya sedang baik-baik saja dan memungkinkan untuk menjawab pertanyaaan, memungkinkan untuk menyapa, atau memungkinkan-memungkinkan lainnya.
Kenapa hal ini terlihat seperti sulit? Karena kenyataanya, kadang kita bertemu pada waktu dan saat yang tidak tepat seperti di persimpangan jalan, disaat terburu-buru menunggu kereta, dan macam-macam lainnya yang kurang sesuai. Hal ini tentu saja berlaku sebaliknya, ketika saya berada di posisi kamu.
Hingga pada situasi dan kondisi yang mendukung selanjutnya, ketika akhirnya kita bisa bertegur sapa, saling melempar senyum, lebih jauh lagi kita bisa berbincang tentang banyak hal, memahami sisi lain masing-masingnya. Maka terjadilah, dia aslinya baik juga (hal ini bisa berlaku sebaliknya).
Sampai sejauh ini, sejauh mana pesan saya tersampaikan? Sejauh mana “kita” (ya, termasuk saya) memahami maksud dan arah pembincangan ini? Masih samar, kah?
***
Semasa kuliah tingkat dua, dosen saya mengatakan bahwa personality seseorang yang kemudian kita sebut sebagai kepribadian berasal dari kata “persona” yaitu topeng. Ya, manusia dengan topengnnya. Tapi hal ini jangan membuatmu beranggapan bahwa berapa banyak topeng yang digunakan atau dipakai seolah-olah mengatakan bahwa manusia memiliki banyak kepribadian.
Tidak, jangan.
Lebih lanjut lagi, kita harus tahu bahwa kepribadian adalah konsep keseluruhan/kesatuan traits dan karakter manusia, sedangkan topeng yang saya bahas diatas keadaan emosional yang sedang dirasakan individu yang mempengaruhi pandangan awal kita terhadap sesuatu.
***
Jadi,
Topeng, dalam rupa apa kau menjumpainya, dalam rupa mana kau dijumpainya.
---
Tulisan ini dibuat bulan November 2016. Diselesaikan September 2017.
Dipost Desember 2018.
Sangat panjang memang untuk saya yang pemalu dan terlalu cupu ini.
0 komentar:
Posting Komentar